Cerpen "1 Agustus : Safira Ayana"
Bandung, 1 Agustus 2003
“Hai, kamu orang baru ya disini ? Aku nggak pernah liat kamu”, ucap seorang anak perempuan sambil menghampiriku.
“Iya, keluarga aku baru pindah kemarin”
“Kenalin nama aku Fira, Safira Ayana”
“Aku Feri Nugraha, panggil aja Feri”
“Daripada kamu disini sendiri mendingan ikut kita main”, ajak Fira.
“Boleh emang ?”, tanyaku hati hati.
“Boleh lah, kenapa nggak ?”, jawabnya riang.
Sejak hari itu aku dan Fira semakin dekat. Kami semakin sering bermain bersama meski hanya berdua. Semakin lama mengenal Fira aku semakin mengetahui sifat Fira. Walaupun baru berumur 6 tahun tapi aku bisa melihat bahwa Fira adalah sosok yang selalu ceria dan berkepribadian baik.
“Fir, hari ini kamu ada acara apa ?”, tanyaku pada Fira.
“Nggak ada, kenapa ?”
“Aku mau ngajak kamu makan di café depan komplek”
“Jangan deh Fer, disitu kan makanannya mahal-mahal. Mana cukup uang anak SMP kaya kita”
“Udah gapapa, aku sengaja nabung uang jajan aku buat traktir kamu disana. Lagipula inikan ulang tahun kamu”
“Jangan Fer serius deh.. Kita makan mie ayam di tempat biasa aja ya ?”, pinta Fira.
“Yaudah deh iya.. Abis pulang sekolah langsung ya”, ucapku mengalah.
Satu hal lagi yang aku tau tentang Fira selama 7 tahun mengenalnya. Walau hidup berkecukupan, Fira adalah orang yang sederhana.
“Fer, hari ini kan aku ulang tahun, aku mau kita nulis harapan masing-masing di kertas ini terus kita masukin ke tabung, kubur deh"
"Buat apaan sih?"
"Udah deh, pokoknya kamu tinggal nulis aja. Ohiya jangan lupa tanggalin juga ya!"
"Iya deh iyaa"
Beberapa saat kemudian
"JANGAN NGINTIP!", teriakku.
"APAAN SIH, FER! Geer banget. Aku cuma mau ngasitau kalau aku udah selesai", elak nya.
"Aku juga. Tapi kapan nih dibukanya ?"
"Aku maunya kertas ini dibuka 1 Agustus 2017. Berarti umur kita udah 20an. Yaa cukup dewasa lahh buat nerima takdir kalau seandainya harapan ini nggak terwujud"
Setelah mengubur tabung harapan, kami sama sama terdiam. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan karena kami sama sama bingung. Sampai akhirnya suara Fira memecah keheningan.
“Fer, ada yang mau aku omongin sama kamu”
“Ngomong aja lagi, kenapa harus bilang segala”
“Besok aku mau pindah ke Semarang”
Ucapan Fira cukup membuatku terkejut. Selain ucapannya yang mendadak, setahuku Fira tidak ada masalah selama tinggal di Bandung. Itu membuatku terdiam lama.
“Fer ?”
“Ya ?”
“Kenapa diem ? Kamu marah karena aku ngasitaunya mendadak ?”
“Nggak ko, apa alasan aku marah sama kamu ? Aku cuma kaget aja”
“Aku juga sama kagetnya sama kamu. Mama baru ngasitau aku tadi pagi”
“Boleh aku tau kenapa kamu pergi ?”, tanyaku pelan.
Fira mengangguk, lalu mulai bercerita.
‘Iya, Bu. Aku juga sebenernya udah mikirin soal itu setahun yang lalu. Cuma aku kasian sama Fira kalau harus pindah soalnya sekolah Fira Cuma satu tahun lagi. Sekarang Fira udah lulus jadi aku nggak ada alesan lagi nunda pulang kesana’
‘…’
‘Iya besok aku sama Fira naik kereta pagi’
‘…’
‘Belum, rencananya aku mau kasitau Fira pagi ini’
‘…’
‘Kalau gitu sampai ketemu ya, Bu. Assalamu’alaikum’
“Ma ? Siapa yang telpon ?”
“Oh itu nenek kamu Fir”
“Ada apa ?”
“Nenek pingin nemenin kamu, tapi nenek nggak bisa pindah ke Bandung. Jadi besok kita yang pindah ke Semarang. Nenek khawatir sama keadaan kamu Fir”
“Tapi kenapa ngedadak Ma ? Fira kan belum sempet ngomong apa2 sama Feri. Lagian Fira nggak kenapa napa kan, jadi nenek nggak perlu khawatir”
“Fira udah gede Ma, Fira bisa jaga diri Fira baik-baik, nggak usah di jagain sama nenek”, sambung Fira.
“Fir.. Ayo dong jangan kaya gini. Ini juga kan demi kamu juga. Kalau soal Feri kamu bisa seharian main sama dia, biar mama yang beresin barang kamu, ya ?”
“Fira boleh seharian sama Feri ? Bener ?”
“Iya”
Fira mengakhiri ceritanya dengan menghela napas panjang.
“Oh gitu.. Yaudah kalau gitu tunggu apa lagi ? Ayo main seharian”, ajakku sambil mencoba kembali membangkitkan semangat Fira. Ditempatnya, Fira tersenyum, sangat manis.
“Yaampun Fir… bukan masalah `segitu doang`nya, tapi itu wahana yang ngantrinya nggak kira2 gitu.. Cape ngantri aku”, jawabku sambil terengah-engah.
“Ayolah Fer.. Inikan hari terakhir kita bareng-bareng”, ucap Fira sambil memasang tampang sedih.
“Iyadeh iyaaa… Gausah manyun gitu. Jelek.”
Setelah bermain selama sehari penuh, kami memutuskan untuk pulang dan aku mengantar Fira. Selama di perjalanan tidak ada yang bersuara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya kami sampai di rumah Fira.
"Emm.. Fer, makasih ya udah nganter aku"
"Iya sama-sama"
"Makasih buat hari ini, aku seneng banget"
"Iya aku juga seneng. Semoga selamat ya sampai di Semarang. Kalau kamu mau pulang, jangan lupa kabarin. Aku selalu nunggu kamu disini lho"
"Apaan sih Fer. Jangan bikin aku nangis deh"
"Yaah nangis, cengeng dehh"
"Udah sana pergi"
"Hehee.. Kalau gitu aku pulang ya Fir. Hati-hati di jalan. Sampai ketemu lagi"
Setelah itu aku langsung melajukan motorku tanpa mendengar jawaban Fira. Aku tidak tahu kalau hari itu benar-benar menjadi hari terakhir kami bersama.
“Hai, kamu orang baru ya disini ? Aku nggak pernah liat kamu”, ucap seorang anak perempuan sambil menghampiriku.
“Iya, keluarga aku baru pindah kemarin”
“Kenalin nama aku Fira, Safira Ayana”
“Aku Feri Nugraha, panggil aja Feri”
“Daripada kamu disini sendiri mendingan ikut kita main”, ajak Fira.
“Boleh emang ?”, tanyaku hati hati.
“Boleh lah, kenapa nggak ?”, jawabnya riang.
Sejak hari itu aku dan Fira semakin dekat. Kami semakin sering bermain bersama meski hanya berdua. Semakin lama mengenal Fira aku semakin mengetahui sifat Fira. Walaupun baru berumur 6 tahun tapi aku bisa melihat bahwa Fira adalah sosok yang selalu ceria dan berkepribadian baik.
***
Bandung, 1 Agustus 2010“Fir, hari ini kamu ada acara apa ?”, tanyaku pada Fira.
“Nggak ada, kenapa ?”
“Aku mau ngajak kamu makan di café depan komplek”
“Jangan deh Fer, disitu kan makanannya mahal-mahal. Mana cukup uang anak SMP kaya kita”
“Udah gapapa, aku sengaja nabung uang jajan aku buat traktir kamu disana. Lagipula inikan ulang tahun kamu”
“Jangan Fer serius deh.. Kita makan mie ayam di tempat biasa aja ya ?”, pinta Fira.
“Yaudah deh iya.. Abis pulang sekolah langsung ya”, ucapku mengalah.
Satu hal lagi yang aku tau tentang Fira selama 7 tahun mengenalnya. Walau hidup berkecukupan, Fira adalah orang yang sederhana.
***
Bandung, 1 Agustus 2014“Fer, hari ini kan aku ulang tahun, aku mau kita nulis harapan masing-masing di kertas ini terus kita masukin ke tabung, kubur deh"
"Buat apaan sih?"
"Udah deh, pokoknya kamu tinggal nulis aja. Ohiya jangan lupa tanggalin juga ya!"
"Iya deh iyaa"
Beberapa saat kemudian
"JANGAN NGINTIP!", teriakku.
"APAAN SIH, FER! Geer banget. Aku cuma mau ngasitau kalau aku udah selesai", elak nya.
"Aku juga. Tapi kapan nih dibukanya ?"
"Aku maunya kertas ini dibuka 1 Agustus 2017. Berarti umur kita udah 20an. Yaa cukup dewasa lahh buat nerima takdir kalau seandainya harapan ini nggak terwujud"
Setelah mengubur tabung harapan, kami sama sama terdiam. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan karena kami sama sama bingung. Sampai akhirnya suara Fira memecah keheningan.
“Fer, ada yang mau aku omongin sama kamu”
“Ngomong aja lagi, kenapa harus bilang segala”
“Besok aku mau pindah ke Semarang”
Ucapan Fira cukup membuatku terkejut. Selain ucapannya yang mendadak, setahuku Fira tidak ada masalah selama tinggal di Bandung. Itu membuatku terdiam lama.
“Fer ?”
“Ya ?”
“Kenapa diem ? Kamu marah karena aku ngasitaunya mendadak ?”
“Nggak ko, apa alasan aku marah sama kamu ? Aku cuma kaget aja”
“Aku juga sama kagetnya sama kamu. Mama baru ngasitau aku tadi pagi”
“Boleh aku tau kenapa kamu pergi ?”, tanyaku pelan.
Fira mengangguk, lalu mulai bercerita.
‘Iya, Bu. Aku juga sebenernya udah mikirin soal itu setahun yang lalu. Cuma aku kasian sama Fira kalau harus pindah soalnya sekolah Fira Cuma satu tahun lagi. Sekarang Fira udah lulus jadi aku nggak ada alesan lagi nunda pulang kesana’
‘…’
‘Iya besok aku sama Fira naik kereta pagi’
‘…’
‘Belum, rencananya aku mau kasitau Fira pagi ini’
‘…’
‘Kalau gitu sampai ketemu ya, Bu. Assalamu’alaikum’
“Ma ? Siapa yang telpon ?”
“Oh itu nenek kamu Fir”
“Ada apa ?”
“Nenek pingin nemenin kamu, tapi nenek nggak bisa pindah ke Bandung. Jadi besok kita yang pindah ke Semarang. Nenek khawatir sama keadaan kamu Fir”
“Tapi kenapa ngedadak Ma ? Fira kan belum sempet ngomong apa2 sama Feri. Lagian Fira nggak kenapa napa kan, jadi nenek nggak perlu khawatir”
“Fira udah gede Ma, Fira bisa jaga diri Fira baik-baik, nggak usah di jagain sama nenek”, sambung Fira.
“Fir.. Ayo dong jangan kaya gini. Ini juga kan demi kamu juga. Kalau soal Feri kamu bisa seharian main sama dia, biar mama yang beresin barang kamu, ya ?”
“Fira boleh seharian sama Feri ? Bener ?”
“Iya”
Fira mengakhiri ceritanya dengan menghela napas panjang.
“Oh gitu.. Yaudah kalau gitu tunggu apa lagi ? Ayo main seharian”, ajakku sambil mencoba kembali membangkitkan semangat Fira. Ditempatnya, Fira tersenyum, sangat manis.
***
“Fer ayo dong… Masa baru segitu doang udah cape”“Yaampun Fir… bukan masalah `segitu doang`nya, tapi itu wahana yang ngantrinya nggak kira2 gitu.. Cape ngantri aku”, jawabku sambil terengah-engah.
“Ayolah Fer.. Inikan hari terakhir kita bareng-bareng”, ucap Fira sambil memasang tampang sedih.
“Iyadeh iyaaa… Gausah manyun gitu. Jelek.”
Setelah bermain selama sehari penuh, kami memutuskan untuk pulang dan aku mengantar Fira. Selama di perjalanan tidak ada yang bersuara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya kami sampai di rumah Fira.
"Emm.. Fer, makasih ya udah nganter aku"
"Iya sama-sama"
"Makasih buat hari ini, aku seneng banget"
"Iya aku juga seneng. Semoga selamat ya sampai di Semarang. Kalau kamu mau pulang, jangan lupa kabarin. Aku selalu nunggu kamu disini lho"
"Apaan sih Fer. Jangan bikin aku nangis deh"
"Yaah nangis, cengeng dehh"
"Udah sana pergi"
"Hehee.. Kalau gitu aku pulang ya Fir. Hati-hati di jalan. Sampai ketemu lagi"
Setelah itu aku langsung melajukan motorku tanpa mendengar jawaban Fira. Aku tidak tahu kalau hari itu benar-benar menjadi hari terakhir kami bersama.
***
Bandung, 31 Juli 2015
Malam ini seperti biasanya, aku dan Fira bercerita tentang hari-hari kami melalui telpon. Tidak ada yang aneh dari Fira, hanya suaranya saja yang terdengar seperti orang flu.
"Fir, kamu sakit ?"
"Hah ? Nggak ko, kenapa emang ?"
"Suara kamu kaya mindeng gitu"
"Oh ini.. Iya, disini cuacanya nggak tentu, jadi aku flu"
"Kebiasaan, nggak bisa jaga kesehatan"
"Cuma flu doang juga"
"Ohiya Fer, hari ini aku pulang ke Bandung. Kemungkinan besok nyampe", sambung Fira.
"Serius ? Sama siapa ? Mau aku jemput nggak ?"
"Nggak usah, aku sama semua keluarga yang ada disini ko"
"Ikut semua ? Ada acara apa ?"
"Nggak ada apa-apa, cuma pada pingin main aja, mumpung liburan katanya"
"Oh yaudah, aku main ke rumah kamu aja"
"Okedeh.. Eh, Fer udah dulu ya, aku mau pergi"
"Oke, bye. Sampai ketemu besok"
"Semoga", ucap Fira pelan. Sangat pelan hingga hampir tidak terdengar, namun aku mengabaikannya.
Malam ini seperti biasanya, aku dan Fira bercerita tentang hari-hari kami melalui telpon. Tidak ada yang aneh dari Fira, hanya suaranya saja yang terdengar seperti orang flu.
"Fir, kamu sakit ?"
"Hah ? Nggak ko, kenapa emang ?"
"Suara kamu kaya mindeng gitu"
"Oh ini.. Iya, disini cuacanya nggak tentu, jadi aku flu"
"Kebiasaan, nggak bisa jaga kesehatan"
"Cuma flu doang juga"
"Ohiya Fer, hari ini aku pulang ke Bandung. Kemungkinan besok nyampe", sambung Fira.
"Serius ? Sama siapa ? Mau aku jemput nggak ?"
"Nggak usah, aku sama semua keluarga yang ada disini ko"
"Ikut semua ? Ada acara apa ?"
"Nggak ada apa-apa, cuma pada pingin main aja, mumpung liburan katanya"
"Oh yaudah, aku main ke rumah kamu aja"
"Okedeh.. Eh, Fer udah dulu ya, aku mau pergi"
"Oke, bye. Sampai ketemu besok"
"Semoga", ucap Fira pelan. Sangat pelan hingga hampir tidak terdengar, namun aku mengabaikannya.
***
Besoknya, aku sangat bersemangat bangun. Aku berniat membelikan kado untuk Fira.
Hari terasa berjalan sangat lambat. Berkali-kali aku melihat jam tapi sore masih juga belum datang. Saat aku melamun, telepon ku berdering, nama Fira muncul di sana.
"Halo, Fir ?"
"Halo Feri", jawab suara itu dengan parau.
"Oh ? Tante ? Kenapa Tan ? Udah di rumah ?", tanyaku sedikit aneh.
"Iya, kamu bisa kesini sekarang ?"
"Iya, kamu bisa kesini sekarang ?"
"Oke siap Tante, saya kesana sekarang", jawabku bersemangat.
Aku melajukan motorku ke rumah Fira dengan membawa boneka yang aku beli untuk Fira. Tapi saat sampai, aku merasa aneh karena semua keluarga Fira berkumpul dan terlihat sedih. Setelah memarkirkan motorku aku menemui mama Fira untuk bertanya.
"Tan ? Ini ada apa ? Kenapa pada nangis ? Fira nya mana ?"
"Fer, yang sabar ya.."
"Fer, yang sabar ya.."
"Maksud Tante apa ?"
"Fira.. Fira udah ninggalin kita semua Fer.."
"Fira.. Fira udah ninggalin kita semua Fer.."
"Tante bohong kan ? Ini pasti Fira yang nyuruh ? Fira nya mana Tante ? Biar aku yang marahin dia"
"Feri.. Tante nggak bohong. Fira meninggal tadi siang"
"Tapi kenapa Tan ? Fira kan nggak kenapa-kenapa"
"Fira nggak cerita sama kamu kalau dia leukimia ?"
"Leukimia ? Nggak mungkin Tan. Selama ini Fira sehat-sehat aja"
"Disini dia emang sehat, itu karena ada kamu. Tapi waktu di Semarang dia drop. Bahkan di hari pertama kita sampai Fira langsung ke rumah sakit. Satu tahun dia di rawat Fer"
"Jadi selama ini tiap aku nelpon Fira, dia ada di rumah sakit ?"
"Iya"
"Tapi kenapa Tan ? Fira kan nggak kenapa-kenapa"
"Fira nggak cerita sama kamu kalau dia leukimia ?"
"Leukimia ? Nggak mungkin Tan. Selama ini Fira sehat-sehat aja"
"Disini dia emang sehat, itu karena ada kamu. Tapi waktu di Semarang dia drop. Bahkan di hari pertama kita sampai Fira langsung ke rumah sakit. Satu tahun dia di rawat Fer"
"Jadi selama ini tiap aku nelpon Fira, dia ada di rumah sakit ?"
"Iya"
***
Fira dimakamkan di samping makam ayahnya. Aku ikut mengantar jenazahnya bersama teman-teman Fira yang lain. Setelah pemakaman selesai dan semua orang sudah meninggalkan makam, aku tidak dapat menahan tangisku lagi. Aku merasa sangat kehilangan. Fira meninggalkan kami semua tepat di hari ulang tahunnya. Bayangan wajah Fira selalu melekat di pikiranku. Kenangan bersama Fira berdatangan seperti film yang diputar, semakin mengingatkanku pada Fira. Saat itu aku teringat kemarin Mama Fira memberi sebuah surat yang Fira tulis sebelum kembali ke Bandung.
Aku tersenyum tipis membaca surat yang Fira tulis. Di surat itu Fira menulis semua perasaan yang tidak pernah ia ceritakan padaku.
'Semoga tenang disana, Safira Ayana'
'Semoga tenang disana, Safira Ayana'
Komentar
Posting Komentar